fbpx
Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

CS Pustaka
● online
CS Pustaka
● online
Halo, perkenalkan saya CS Pustaka
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

Buka Setiap Hari pukul 08.00 s.d. pukul 16.00 Hari Besar Islam Tutup
Beranda » Blog » Seruni: Kejujuran di Tepi Jalan

Seruni: Kejujuran di Tepi Jalan

Diposting pada 30 Maret 2024 oleh Redaksi / Dilihat: 97 kali / Kategori:

Aku tak menyangka jika kegemaranku bermain di perpustakaan umum dekat tempat tinggalku dapat mengantarkanku ke menara gading. Sungguh itu di luar ekspektasiku. Benar pendapat orang tua bahwa perkataan adalah sebuah doa yang ampuh. Oleh karena itu, berucaplah dan berharaplah yang baik-baik karena akan berdampak pada usaha-usaha kita di masa yang akan datang. Itulah yang kemudian saat ini aku alami, harapanku sepuluh tahun yang lalu terwujud. Walau hal itu merupakan sesuatu yang mustahil, akan tetapi selagi ada kemauan yang kuat di situ pasti ada jalan. Manusia cukup berusaha, selebihnya serahkan pada Tuhan yang punya kendali. Keyakinan itulah yang membuatku teguh terhadap pendirian.

Tak ayal, ketika peluang itu datang segera aku gunakannya sebaik mungkin, walaupun sedang mengandung anak kedua. Aku sangat antusias menjalani proses panjang kembali ke bangku sekolah. Walau terkadang aku kewalahan mengatur waktu antara tugas sebagai ibu rumah tangga dan tanggung jawabnya selaku peserta didik. Oleh karena itu, aku memilih jam belajar khusus hari Minggu agar pekerjaanku di rumah tidak terbengkalai. Tugas kuliah yang menumpuk mengharuskanku menyisishkan waktu yang lebih. Belum lagi kalau sudah mengurusi si Sulung yang kian bertumbuh dengan tingkah laku sedikit over sehingga cukup menyita perhatianku. Semuanya tak membuatku gerah dan lari dari kenyataan, justru itu dijadikan tantangan yang harus aku taklukan.

Setiap pekan aku berangkat ke kampus guna menuntut ilmu. Aku berangkat menggunakan angkot karena tidak bisa menggunakan motor. Alternatif itu juga bertujuan untuk menyiasati pengeluaran agar tidak membludak, walau harus beranjak lebih awal agar tidak molor tiba di kampus. Jejal sesak penumpang memenuhi kursi menimbulkan hawa panas. Perpaduan peluh sekujur tubuh mengeluarkan bau khas yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun tidak membuatku hengkang dari tempat duduk. Aku hanya menghela nafas untuk menjaga asupan oksigen.

Waktu telah menunjukkan pukul 11.00 sang surya mulai menampakkan taringnya. Sinarnya menyengat menyentuh badan. Sekar bergegas meninggalkan kelas. Aku pulang lebih awal karena sebagian tutor berhalangan hadir karena suatu hal. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan, aku gunakan untuk berburu barang-barang diskon di supermarket langgannanya. “Mumpung pulang cepat!” gumamnya seorang diri. Tanpa membuang waktu Aku segera menghentikan kendaraan umum yang melaju di depan mata.

Berburu barang promo bagiku sangat berarti, karena demi menghemat jatah belanja yang akhir-akhir ini banyak pengeluaran yang tidak terduga. Biasanya supermarket mengadakan promo tersebut setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Oleh karenanya Sekar tidak mau ketinggalan info, makanya Aku selalu mengintai di laman medsosnya. Karena perbandingan harga diskon dengan bandrol normal sangatlah menonjol. Rasanya sayang kalau terlewat begitu saja.

Beberapa menit telah berlalu. Angkot bergerak pelan menyisir sepanjang yang dilaluinya. Sepoi angin menyusup di sela-sela jendela kaca. Menyampaikan angin sejuk membelai hijabku. Terlihat berjejer toko dan pedagang asongan yang sedang menjajakan jualannya. Orang-orang silih berganti lalu lalang berjalan di sisi trotoar jadi pemandangan lumrah. Ada juga tukang parkir yang sibuk merapikan kendaraan titipan. Suara gitar pengamen menyemarakkan suasana iba berharap belas kasih pengunjung warung seberang jalan.

Selang berapa lama terlihat bangunan yang sangat kukenal, aku spontan teriak “stooooooppp!” angkot pun berhenti seketika. Aku mengeluarkan uang ribuan dari saku kantongnya. Terlihat seseorang perempuan kumal yang menggendong boneka besar duduk di teras market memperhatikanku. Matanya melotot menatap gerak langkahku, ada sedikit ketakutan namun tak kuhiraukan. Aku tetap melenggang masuk ke toko yang sudah ada di depan mata.

Sebenarnya dia tak begitu asing bagiku, karena sering menemukannya nongkrong di pinggir trotoar. Kadang bersih-bersih di warung yang ia singgahi untuk mendapatkan sesuap nasi. Sehingga orang-orang yang melewatinya merasa iba melemparkan uang recehan dan ia tak menampik itu. Tidak jarang pula terdapat anak-anak yang jahil menggoda tapi ia tak bergeming. Karena walau terlihat kurang waras dia bukanlah tipe yang galak dan suka mengamuk dan membahayakan orang lain. Konon menurut cerita orang sekitar, katanya dia seperti itu karena akibat kekerasan dalam rumah tangga dan kehilangan anak semata wayangnya. Sehingga membuatnya depresi yang berkepanjangan. Dari orang-orang sekitar itu pula aku tahu bahwa ia bernama Seruni.

Di pojok market terpampang jelas katalog berbagai jenis produk yang sedang ada potongan harga. Kuamati secara saksama satu persatu mana barang yang cocok untukku. Bibirku tersenyum sumringah ketika menemukan barang yang kucari. Tanpa berlama-lama aku segera menyisir setiap barang yang dipajang pada rak. Mataku pecicilan menyeleksi barang yang diinginkan. Setelah dirasa cukup Aku segera membayarnya di kasir.

Kasir menghitung dengan cermat barang belanjaanku. “Seratus Lima Puluh Ribu!” ujar kasir kepadaku. Aku merogoh kocek dan mengeluarkan dua lembar uang ratusan. Sepintas kutengok isi dompet, “Kok uangnya tinggal sedikit ya? Perasaan belum dipake apa-apa!” Gerutuku dalam hati. Namun di sisi hatiku yang lain berkilah mungkin kamu lupa kilahnya. Setelah membayar pesanan, Aku tergopah-gopoh enggan berlama-lama keluar dari ruangan tersebut teringat tugas dari dosen yang harus kukerjakan.

Baru beberapa langkah terdengar sayup-sayup seseorang memanggil namaku, aku menghentikan langkah kakiku. Manik netraku mencari-cari suara yang menyebut-nyebut namaku. Betapa terkejutnya aku ternyata sumber bunyi itu berasal dari perempuan kotor yang duduk di teras toko. Ragu-ragu Aku mendekatinya. “Ada apa?” sahutku mendelik. “Ini Uangnya Jatuh tadi pas bayar angkot!” Katanya menyerahkan sekeping kertas yang Ia pegang. “Alhamdulilah ternyata kamu yang menemukannya, Ini buat jajan!” Balasku memberikan uang puluhan ke tangannya.

Ada rasa haru di relung batinku, orang yang dianggap kurang normal ternyata memiliki jiwa yang bersih dan jujur. Mendadak bayangan cerminan diri hadir dibenakku. Apakah Aku sudah seperti dirinyakah mempunyai perilaku sebening marmer dengan segala keterbatasannya? Tiba-tiba bulir air mata penyesalan mengalir begitu saja seiring ucapan istighfar di bilik kalbuku yang terdalam. Terlintas dosa-dosa yang pernah kuperbuat, tutur perbuatanku kalah jauh dengan orang yang dianggap gangguan jiwa. Berulang kali sesal terucap seiring terdengar lembut bisikan janji bahwa akan mengubah keburukan sikapku di masa lalu.

“Terima kasih Seruni engkau mengajarkan bagaimana manusia berperilaku!” tuturku melangkah mantap.

Penulis: Wuriyanti

Tags:

Bagikan ke

Seruni: Kejujuran di Tepi Jalan

Saat ini belum tersedia komentar.

Silahkan tulis komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan kami publikasikan. Kolom bertanda bintang (*) wajib diisi.

*

*

Seruni: Kejujuran di Tepi Jalan

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Checkout
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah: