● online
(Cerpen) Cahaya Santri, Warisan Sunan Gunung Jati

LANGGAR tua itu berdiri di ujung kampung, sederhana dan hampir lapuk dimakan waktu. Namun setiap sore, suara ayat suci selalu menggema dari dalamnya. Bagi para santri, tempat itu bukan sekadar ruang belajar, melainkan rumah kedua.
Di antara para santri ada seorang anak muda bernama Fahri. Baru setahun ia mondok, tetapi semangatnya selalu membara. Walau bacaannya belum fasih, ia terus bertahan karena selalu teringat kata-kata pengasuhnya, Kiai Ahmad:
Santri bukanlah siapa yang paling cepat menguasai kitab, melainkan siapa yang paling sabar menjaga niat.
Malam itu, langgar dipenuhi cahaya lampu minyak. Para santri duduk bersila dengan wajah penuh antusias. Kiai Ahmad membuka kisah, kali ini bukan tentang fiqih atau nahwu, melainkan tentang sejarah.
“Anak-anakku,” ucapnya dengan suara tenang, “besok kita memperingati Hari Santri. Tapi mari kita kenang seorang wali besar, pewaris Nabi, yang namanya terpatri di tanah ini: Sunan Gunung Jati.”
Para santri mendongak, matanya berbinar.
“Sunan Gunung Jati,” lanjut Kiai Ahmad, “bernama asli Syariif Hidayatullah. Ia lahir di tanah Mesir, memiliki darah Quraisy dari ayahnya, Syariif Abdullah, keturunan Rasulullah. Namun juga memiliki darah Pasundan dari Ibunya Nyai Rara Santang atau Syariifah Mudaim, putri Prabu Siliwangi. Sejak kecil, ia mewarisi dua warisan: darah kenabian dan darah kerajaan.”
Para santri tercengang. Bagi mereka, baru kali ini sejarah itu terdengar begitu dekat.
“Syariif Hidayatullah sejak muda pergi menuntut ilmu. Ia belajar tafsir, fiqih, tasawuf, bahkan ilmu politik dan diplomasi. Ia melihat dunia Islam yang luas, lalu dengan restu dari sang Ibunda, Syariif Hidayatullah pergi ke tanah Sunda membawa cahaya.”
Kiai Ahmad melanjutkan dengan penuh semangat:
“Di pesisir Pasundan, tepatnya di tanah Cirebon, beliau tidak memilih jalan menjadi pertapa, tapi membangun masyarakat. Melanjutkan Kesultanan Cirebon yang dibangun uwanya Raden Walangsungsang atau Mbah Kuwu Cirebon sebagai benteng dakwah. Ia paham betul, Islam tidak cukup hanya dengan ceramah, tapi perlu tatanan sosial dan politik yang adil. Maka istana dan masjid berdiri berdampingan—menjadi simbol bahwa agama dan negara tak boleh dipisahkan.”
Para santri semakin larut. Seolah-olah mereka bisa melihat istana megah di pinggir laut Cirebon, berdiri sejajar dengan masjid yang selalu ramai jamaah.
“Sunan Gunung Jati bukan hanya seorang guru,” kata Kiai Ahmad, “beliau juga pejuang. Saat Portugis datang ke Sunda Kelapa, beliau bersama Kesultanan Demak mengirim pasukan. Portugis yang datang dengan kapal meriam ditantang dengan bambu runcing, keberanian, dan doa. Dari situlah lahir kemenangan, Sunda Kelapa jatuh ke tangan umat Islam, lalu diganti namanya menjadi Jayakarta.”
Para santri merinding. Fahri membayangkan deru ombak, teriakan takbir, dan kapal-kapal asing yang terbakar di lautan.
“Lihatlah, anak-anakku,” lanjut Kiai Ahmad, “perjuangan itu bukan hanya pedang melawan meriam, tapi juga doa melawan kesombongan. Sunan Gunung Jati membuktikan bahwa keberanian lahir dari iman.”
Kiai Ahmad menundukkan wajahnya, suaranya merendah tetapi makin dalam.
“Namun, anak-anakku, yang paling abadi dari beliau bukanlah istana, bukan pula peperangan, melainkan pesan yang ia tinggalkan: ‘Ingsun titip tajug lan faqir miskin.’ Aku menitipkan masjid dan faqir miskin. Beliau tahu, istana akan runtuh, takhta akan digantikan, tapi masjid dan manusia lemah adalah fondasi peradaban.”
Fahri tertegun. Baginya, pesan itu lebih dalam dari ribuan kata. Ia membayangkan masjid kecil di desanya, tempat ia belajar dan bersujud. Ia juga melihat wajah-wajah faqir miskin di kampungnya yang sering ditolong orang-orang pondok. Ternyata, di situlah inti jihad.
Malam semakin larut. Setelah wirid, para santri kembali ke bilik masing-masing. Fahri tertidur di serambi dengan mushaf terbuka di dadanya. Dalam mimpi, ia melihat dirinya berada di pelabuhan Sunda Kelapa. Ombak bergemuruh, kapal Portugis mendekat dengan meriam menggelegar. Dari kejauhan, pasukan Islam berbaris dengan bambu runcing dan panji tauhid.
Di barisan depan berdiri seorang lelaki dengan wajah bercahaya, serban putih melilit kepalanya. Seorang tua berbisik di telinga Fahri: “Itulah Sunan Gunung Jati.”
Sunan mengangkat tangan ke langit, berdoa, lalu memberi aba-aba. Takbir menggema, lautan berguncang. Namun di tengah hiruk pikuk perang, yang paling menggetarkan hati Fahri adalah wajah Sunan Gunung Jati yang tenang, seolah mengatakan: “Keberanian sejati lahir dari iman, bukan senjata.” Adegan berganti. Sunan Gunung Jati duduk di serambi masjid, menyuapi seorang anak yatim. Lalu beliau menoleh pada Fahri, menatapnya penuh kasih, dan berkata:
“Ingsun titip tajug lan faqir miskin. Jagalah masjid, cintailah orang miskin, karena dari mereka Allah menurunkan rahmat.”
Air mata Fahri mengalir deras. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Fahri terbangun dengan tubuh berpeluh. Ayat di mushaf terbuka berbunyi: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Ia sadar mimpinya bukan kebetulan, melainkan isyarat.
KEESOKAN harinya, 22 Oktober, para santri mengadakan kirab. Obor dinyalakan, bendera merah putih dikibarkan, dan shalawat menggema. Fahri berjalan di barisan tengah, memeluk Al-Qur’an tua di dadanya. Dalam hati ia berbisik:
Ya Allah, aku mungkin tak bisa menjadi Sunan Gunung Jati. Tapi izinkan aku menjadi santri kecil yang menjaga wasiatnya: menjaga masjid, menolong faqir miskin, dan mencintai negeri ini.
Senja turun perlahan. Langit berwarna jingga, bintang satu per satu muncul. Fahri duduk di serambi langgar, menatap langit dengan mata basah. Ia teringat kata-kata Kiai Ahmad:
Dunia mungkin melupakan Sunan Gunung Jati. Buku-buku besar mungkin hanya menyinggungnya sekilas. Tapi selama ada santri yang membaca Qur’an di langgar, selama ada doa yang terangkat dari masjid kecil, selama ada tangan yang menolong faqir miskin, maka cahaya beliau tetap hidup.
Langgar tua itu tetap berdiri, sederhana tetapi kokoh sebagai saksi. Dari ruang kecil itulah lahir santri-santri yang meneruskan cahaya. Cahaya yang turun dari Sunan Gunung Jati, menembus abad-abad, hingga menyala di dada para santri hari ini. Di dalam dada Fahri, cahaya itu menyala abadi.
Penulis: Syariif Ahmad Ja’far Shoodiq
Penyunting: Idan Sahid
Tulisan website Pustaka Al-Bahjah merupakan platform bacaan yang ditulis oleh masyarakat umum sebagai media literasi. Submit tulisanmu dengan cara klik link ini.
(Cerpen) Cahaya Santri, Warisan Sunan Gunung Jati
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Sudah menjadi rahasia umum bahwa Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman utama bagi umat manusia dalam menjalani... selengkapnya
sumber gambar: Suara Cirebon Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Sunan Gunung Djati, atau yang dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah, merupakan salah satu... selengkapnya
“Bersama hari raya Idulfitri ini mari kita wujudkan nuansa kasih sayang dan cinta di dalam keluarga untuk menjadikan rumah kita... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon – Menjamu makan tamu adalah hal biasa, namun bagaimana jika yang dijamu jumlahnya mencapai puluhan ribu orang?... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Pemilu menjadi ajang pesta demokrasi sekaligus medium aktualisasi hak dan kewajiban politik seluruh warga negara. Agar pemilu... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon – Shalat fardhu merupakan sebuah kewajiban seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, termasuk saat... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon – Salah satu golongan orang yang akan masuk neraka adalah laki-laki dayyuts. Siapakah laki-laki dayyuts ini? Ummi... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Dikisahkan ada seseorang ahli ibadah yang bernama Barseso. Di setiap harinya ia selalu melakukan shalat hingga 1000... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon – Setelah menunaikan ibadah haji, seorang muslim akan kembali ke tanah air dan tempat tinggalnya masing-masing. Adab... selengkapnya
Pustaka Al-Bahjah, Cirebon-Sejak manusia mengenal istilah saling menyapa dalam sejarah peradaban, kontak mata atau tatap muka menjadi hal yang bermakna... selengkapnya
Penerbit: Pustaka Al-Bahjah Penulis: Maulid Johansyah, M.Pd. Tebal buku: xi+138 Buku saku Kosa Kata (Almufrodat) Sehari-Hari ini merupakan pelengkap untuk… selengkapnya
Rp 23.000 Rp 29.900Buku Fiqih Jenazah karya Buya Yahya adalah sebuah karya yang membahas secara komprehensif tentang tata cara dan hukum-hukum yang berkaitan… selengkapnya
Rp 58.000Buku Fiqih Praktis Haid karya Buya Yahya memuat tiga bahasan utama, yaitu identifikasi dan ketentuan haid, nifas, dan istihadhoh yang… selengkapnya
Rp 149.000Penerbit: Pustaka Al-Bahjah Penulis: Buya Yahya Tebal buku: xiii+124 Dakwah mempunyai makna mengajak diri dan orang lain kepada kebaikan, menjauhkan… selengkapnya
*Harga Hubungi CSBuku Fiqih Bepergian karya Buya Yahya menghadirkan masalah umum yang sering dihadapi oleh kaum muslim dalam menjaga kualitas dan waktu… selengkapnya
Rp 23.000 Rp 43.000Buku Fiqih Thaharah (Bersuci) karya Buya Yahya ini disusun berdasarkan berbagai kitab-kitab yang terpercaya dengan tetap memperhatikan sumber utamanya, yakni… selengkapnya
Rp 60.000Buku “Silsilah Fiqih Praktis Qurban” karya Buya Yahya merupakan sebuah panduan praktis yang memberikan pemahaman mengenai hukum dan tata cara… selengkapnya
Rp 57.000Terkadang seorang pelajar bahasa arab akan mendapati sedikit kesulitan dalam mempelajari qoidah ‘adad ma’dud karena pembahasan tersebut tidak terlalu detail… selengkapnya
Rp 29.000 Rp 37.700
Saat ini belum tersedia komentar.