Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

CS Pustaka
● online
CS Pustaka
● online
Halo, perkenalkan saya CS Pustaka
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

Beranda » Blog » (Cerpen) Di Antara Langit dan Doa

(Cerpen) Di Antara Langit dan Doa

Diposting pada 14 June 2025 oleh Redaksi / Dilihat: 619 kali / Kategori:

ANGIN pagi di kaki langit timur menyusup ke celah-celah jendela kamarku yang menghadap barat daya. Di ujung horizon, mentari masih malu-malu menampakkan wujudnya, namun kerinduan dalam dadaku telah lebih dulu menyala. Api yang tak kunjung padam sejak pertama kali aku mendengar namanya: Makkah.

Nama yang lebih terasa dari sekadar kata. Ia hadir seperti gema di ruang batin, gaung yang terus memanggil, menyelusup ke sumsum jiwa. Sejak kecil aku mendengar kisah-kisah tentangnya. Tentang Ka’bah yang agung, tentang doa yang terbang bebas di langitnya. Tentang air zamzam yang mengalir dari rahmat, bukan sekadar tanah.

Kutatap tiket elektronik di genggaman, dan bersamaan dengan itu, aku merasa seperti seekor burung yang hendak dilepas dari sangkar sunyi. Terbang, bukan dengan sayap, tapi dengan harap yang utuh. Sementara langit pun tampak lebih biru pagi itu seakan memberi restu.

Di bandara, aku seperti tenggelam dalam lautan manusia yang punya tujuan sama: menuju rumah Tuhan. Tapi di antara wajah-wajah penuh harap itu, aku tetap merasa sendiri-sendiri dalam perenungan, bukan dalam kesepian. Aku teringat satu bait puisi: “Seperti burung mengarungi langit biru, kita terbang, jiwa merdeka meru.” Bukankah itu hakikat perjalanan ini? Melepaskan segala beban dunia, menyisakan ruang bagi makna yang murni?

Pesawat mengudara. Dari jendela, bumi tampak seperti lukisan usang yang perlahan ditinggalkan modernisasi. Di dalam kabin, suara zikir bergema pelan, bersaing lembut dengan deru mesin. Waktu seolah melambat, memberi ruang bagi hati untuk berdialog dengan sunyi. Di situ, aku temukan kedamaian yang tak pernah dijanjikan dunia.

Ketika roda pesawat menyentuh tanah Arab, aku merasa seperti menginjak dimensi lain. Udara di sana kering, namun mengandung aroma yang tak bisa dijelaskan. Campuran pasir, sejarah, dan rahasia.

Bus yang membawa kami menuju kota suci bergerak perlahan melintasi padang pasir yang luas dan sunyi. Di luar jendela, tak ada gedung tinggi, tak ada hutan, hanya gelombang pasir yang sesekali diempas bayangan awan. Namun, justru di kesunyian itu aku merasakan keramaian yang hakiki, keramaian kenangan, doa-doa, dan jiwa-jiwa yang pernah melintas di sini ribuan tahun lalu.

Perjalanan berikutnya mulai tertuju pada petualangan yang semakin mendahagakan jiwa. Aku menatap Ka’bah dalam imaji, belum di mata, tapi sudah begitu nyata di hati. “Tak terhalang gunung, lembah, atau lautan. Hanya ketabahan jiwa dalam perjalanan,” begitu bisik batin, mengingat bait puisi yang pernah kutulis dalam malam penuh rindu.

Di padang kerinduan ini, semua hal terasa bermakna. Bahkan jejak kaki di pasir menjadi bagian dari narasi agung yang menghubungkan tanah dengan langit. Doa-doa dari bibir jamaah lainnya seperti bintang-bintang kecil yang menyala pelan di langit petang.

Makkah. Kota yang tak hanya dilihat, tetapi dirasakan. Ketika pertama kali aku memandang Ka’bah, langkahku terhenti. Air mataku jatuh, bukan karena kesedihan, tapi karena sebuah pertemuan yang telah lama dinanti akhirnya terjadi. Rasanya seperti pulang, tapi bukan ke rumah masa kecil, ini lebih dalam, lebih purba. Seperti pulang ke rahim semesta.

Ka’bah berdiri tegak seperti pusat semesta. Hitam dan agung, seolah memeluk segala kesedihan dan pengharapan umat manusia. Tak ada hiasan mewah di sisinya, tapi justru di sanalah letak kemegahannya: dalam kesederhanaan yang menyerap seluruh kerendahan hati.

Aku thawaf, mengikuti putaran seperti planet mengelilingi matahari. Di situ aku sadar, betapa kecilnya aku dalam skema semesta. Tapi justru di dalam kekerdilan itu, aku merasa dekat dengan-Nya. Di tengah kerumunan yang padat, aku menemukan ruang batinku yang lapang.

“Ya Allah…” bisikku dalam lirih, “…jangan biarkan aku kembali menjadi manusia yang sama.” Namun perjalanan ini bukan hanya tentang ketenangan. Seperti malam yang menyimpan badai di balik sunyinya, begitu pula jiwaku diuji. Pada suatu malam, tubuhku lemah. Panas menyerang seperti api yang datang dari tanah. Dalam kamar hotel sederhana, aku tergeletak, tubuh berkeringat, napas tersengal. Di luar, suara azan Isya terdengar sayup, seolah memanggilku dengan pilu.

Aku merasa takut. Takut tidak bisa menyelesaikan ibadah ini. Tapi di saat seperti itu, aku melihat cahaya. Bukan cahaya dari lampu, tapi kilau keyakinan dalam doa. “Di tengah badai, cahaya terang. Seakan petunjuk, dari Tuhan Yang Maha Esa.”

Aku terbangun keesokan harinya dengan tubuh yang masih lemah, namun jiwa yang lebih kuat. Sebab, aku tahu perjalanan ini bukan tentang tubuh, tetapi tentang jiwa. Dan jiwa yang berserah tak bisa dikalahkan oleh panas atau sakit.

Hari terakhir di Makkah seperti detik terakhir sebelum terbangun dari mimpi indah yang akan segera usai. Aku duduk di pelataran Masjidil Haram, menatap Ka’bah sekali lagi. Tak banyak yang kukatakan. Tak banyak pula yang kupinta. Karena dalam hening itu, aku tahu, Tuhan telah membaca segalanya sebelum lidah mengucap.

Aku teringat bait terakhir puisiku: “Hanya cinta, tulus dan suci, menyatu dalam doa, di bawah langit yang biru.” Ya, di sini aku telah belajar bahwa cinta kepada Tuhan bukan hanya soal doa panjang atau air mata, tetapi tentang kerelaan untuk tunduk, seutuhnya.

Perjalanan pulang tidak lagi terasa sebagai akhir. Justru ini awal dari sesuatu yang baru. Aku kembali dengan tubuh yang sama, tapi dengan hati yang telah ditempa oleh langit Makkah. Setiap langkahku di tanah air terasa berbeda. Lebih ringan, karena telah kutinggalkan beban yang selama ini tak kusadari beratnya.

 

DI SUDUT rumahku, aku duduk dan menulis. Tentang pasir yang mengajarkanku makna sabar, tentang langit yang memberiku pengertian tentang harap, dan tentang Ka’bah yang membisikkan padaku: “Tidak ada jarak antara dirimu dan Tuhanmu, kecuali yang kau buat sendiri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kembali, aku bermimpi terbang. Seperti burung. Tapi kali ini bukan menuju Makkah. Karena Makkah telah kutemukan dalam dada.

 

Penulis: Husni A. Mubarak

Penyunting: Idan Sahid

Tulisan website Pustaka Al-Bahjah merupakan platform bacaan yang ditulis oleh masyarakat umum sebagai media literasi. Submit tulisanmu dengan cara klik link ini.

 

 

Bagikan ke

(Cerpen) Di Antara Langit dan Doa

Saat ini belum tersedia komentar.

Mohon maaf, form komentar dinonaktifkan pada halaman/artikel ini.
Tip Sukses Melakukan Iktikaf
4 April 2024

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Banyak amalan yang dapat dilakukan di bulan Ramadan, selain melakukan amalan-amalan yang biasa dilakukan di bulan-bulan lainnya,... selengkapnya

Saat Kontak Mata Hilang, Makna Pembicaraan Terbuang
6 August 2025

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon-Sejak manusia mengenal istilah saling menyapa dalam sejarah peradaban, kontak mata atau tatap muka menjadi hal yang bermakna... selengkapnya

Buya Yahya Ingatkan Beratnya Menjadi Pemimpin
10 February 2024

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Saat kita memiliki pemimpin atau atasan, Buya Yahya mengingatkan agar kita tidak lupa untuk mendoakan mereka. Jangan... selengkapnya

Pendidikan Karakter di Era Digital: Tantangan dan Peluang bagi Generasi Muslim
22 July 2025

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon-Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara hidup manusia, termasuk dalam dunia pendidikan. Di satu sisi,... selengkapnya

Cara Perempuan Membatalkan Ta’aruf yang Baik
19 June 2024

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Hal yang harus dipahami terlebih dahulu adalah makna ta’aruf itu sendiri. Ta’aruf bukanlah kesepakatan untuk menuju kepada... selengkapnya

Mengapa Anda Harus Menyambut Bulan Kelahiran Manusia Pilihan?
3 July 2024

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Pada tanggal 06 Muharram 1446 H/12 Juli 2024, podcast “Satu Hati” akan menggelar episode istimewa yang bertajuk... selengkapnya

Puisi-Puisi Nur Aliyatul Hasanah
18 September 2024

  Dzikrullah Luasnya bumi terhampar Indahnya langit terbentang Megahnya pegunungan kokoh ditinggikan Matahari pun dihangatkan   Apalagi yang perlu diragukan?... selengkapnya

Bolehkah Meminta Air Keberkahan kepada Orang Saleh?
14 November 2024

Pustaka Al-Bahjah, Cirebon –Air sering kali dijadikan sebagai media untuk mendapatkan keberkahan, baik melalui doa maupun sebagai perantara untuk keberkahan... selengkapnya

Esensi Isra’ Mi’raj yang Membawa pada Perubahan Diri
18 March 2021

Esensi Isra’ Mi’raj yang Membawa pada Perubahan Diri Oleh: Admin 2 Disadur dari ceramah Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon)... selengkapnya

Puisi-Puisi Seruni Unie
23 March 2024

Stasiun   Tak ada pelukan Juga cium pipi Tanda perpisahan   Hanya kepal tangan bersentuh Dengan tatap mata luruh :... selengkapnya

(Cerpen) Di Antara Langit dan Doa

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Checkout
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah: